Jumat, 01 Oktober 2021

NEGERI PASAR BURUNG

 



Hari ini, kita tahu bahwa setiap hari kita selalu melihat beragam cerita. Sajian demi sajian cerita-ceritanya hampir terus menyesaki ruang pandang dan ruang dengar. Lalu kita menikmati dan terhanyut dalam setiap alurnya atau kadang muak dengan semua cerita-cerita yang terus disuguhkan. Seperti ketika kita melihat teater, saat semua pemain memperkenalkan diri, kita menyoraki; gembira atau menghina.  Saat pemain mengundurkan diri menyudahi lakonnya, ada yang memuji bahkan memaki atas ketidakpuasan saat melihatnya.

Di negeri ini hal di atas seperti pengejawantahan dari lakon-lakon teater saja. Semakin banyak lakon memainkan perannya, maka semakin banyak komentar-komentar penonton bertebaran dalam ruang itu. Saking banyaknya komentar, kita seperti berada di pasar burung. Setiap sudut pasar yang kita datangi, selalu ada kicauan. Semakin banyak burung yang dipamerkan, kicauan burung bukan tambah mengurang tapi tambah ramai.

Perpolitikan di negeri ini tak jauh beda dengan ‘pasar burung’. Burung dengan kicauannya yang cantik, ia akan menjadi burung yang mahal dan banyak digemari  ̶ meski kita tahu, burung dengan kiacauan terbaiknya akan berkicau bila istana sangkarnya dipenuhi pakan bergizi yang baik untuk tubuhnya. Ada kemauan di balik kicauan. Namun, bila burung itu memiliki kicauan yang tidak menarik perhatian orang, jelek, ia tak begitu berharga bahkan dilirikpun tidak. Anda pasti tau, bahwa yang membedakan diantara keduanya terletak pada ‘nilai’ yang terdapat dalam burung-burung itu.

Hari ini kita banyak melihat karakter bangsa di negeri ini seperti burung dengan kicauannya yang indah. Kita tahu kicauan itu sangat baik bagi pendengaran setiap kali kita mendengarnya. Namun, dan ini yang menjadi persoalan, tidak semua kicauan mengandung nilai, bila hal itu tidak didasarkan pada kebaikan yang dikicaukan. Analoginya, kita juga tahu, di negeri ini banyak orang berperan seperti pahlawan super hero dengan lantang menyuarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan negara, mengangkat martabat bangsa dan negara, revolusi mental, bersama melawan KKN, dan lain-lain yang bernuansa seolah menyelamatkan negara. Padahal apa yang disampaikan sebetulnya berorientasi pada tujuan-tujuan tertentu: mengincar kursi kekuasaan, menyelamatkan diri dari sesuatu yang salah diperbuat dan atau meraup keuntungan sebagai ladang mata pencaharian.  

  Pada masa kepemimpinan Muawiyah, seorang komandan pasukan bernama Al-Hurr diutus untuk mencegah Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah SAW di sebuah padang pasir di negeri seribu satu malam, Irak. Dia sadar benar bahwa Husain sedang memperjuangkan kebenaran: membela rakyat yang tertindas. Suatu perjuangan yang sebenarnya sedang ia perjuangkan juga. Namun dia terikat oleh sumpah prajuritnya. Ketika jendral Sa’ad mengutus untuk membunuhnya, dia pun membelot membela Sayyidina Husain bin Ali. Hal ini Al-Hurr lakukan demi membela keyakinannya pada kebenaran. Cerita ini menjadi contoh yang baik dari peran orang yang baik. Al-Hurr bukan sekedar sosok pemimpin yang baik dengan segenap keberanian yang dimilikinya. Namun, di balik semua itu, ia memilik ‘nilai’ positif dalam kepemimpinannya: kebaikan bernilai baik.

Baca juga PERADABAN QABIL

Di negeri ini sebetulnya tidak membutuhkan sosok pemimpin yang hanya bermodal pemberani. Di sisi lain, kita perlu memiliki pemimpin yang baik dan memiliki tujuan yang baik pula. Bukan hanya itu, ia bisa menciptakan cerita yang baik. Tentunya, ia juga mengerti bagaimana kebaikan itu terus berjalan pada arah yang baik. Sebab, tujuan yang baik bukan berarti menjadikan perbuatan itu baik. Terkadang kebaikan bila tidak melintasi pada jalannya yang baik, malah menimbulkan sesuatu yang tidak baik. Buruk.

Selanjutnya, kita sebagai bangsa hanya perlu menolak secara bersama-sama terhadap karakter pemimpin yang tidak berdasarkan ‘nilai’ dalam kepemimpinannya. Tentunya dengan demikian, ketentraman di negeri ini akan berjalan langsung tanpa menyalahkan, membenarkan, atau abai tapi tetap dalam bendera Bhineka Tunggal Ika.  Dengan demikian bangsa kita tidak menjadi bangsa kasihan. Meminjam metafor Kahlil Gibran, bangsa kita ini jatuh menjadi bangsa kasihan. Yakni, bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru. Bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan, namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.  Bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu dan orang kuatnya masih dalam gendongan. Bangsa yang terpecah-pecah dan masing-masing pecahan menganggap dirinya bangsa.

Muhammad Faisal Ali

Rabu, 29 September 2021

PERADABAN QABIL

 


 SEGALA sesuatu yang sudah final dijadikan pedoman atau kebiasaan disebut peradaban. Dan segala peradaban di dunia ini pertama kali lahir dari kehidupan keluarga kecil Nabi Adam as dan istrinya, Siti Hawa. Entah itu peradaban yang langsung ditetapkan oleh Nabi Adam sendiri atau melalui keturunan-keturunannya. Peradaban baik ataupun buruk, keduanya sama-sama terlahir dari keluarga kecil tersebut dan bisa jadi, dari keluarganya keluarga keturunan Nabi Adam as. Yang pasti, setiap peradaban yang baik semata-mata atas tuntunan Allah dan peradaban yang kurang baik (buruk) pasti peradaban yang lahir tanpa dasar tuntunan-Nya.

Peradaban pertama kali adalah perintah Allah kepada Nabi Adam as untuk mengawinkan putra-putrinya secara silang. Sebab, dan ini yang menjadi satu-satunya alasan di balik terjadinya fenomena tersebut, adalah populasi makhluk Tuhan bernama manusia masih dapat dihitung dengan jari-jari tangan. Dan seiring dengan perkembangannya, peradaban ini dihapus hingga dewasa ini.

Namun, meski peradaban ini sudah lama dihapus, ada suatu peradaban yang hingga saat ini masih terus berlanjut mengalami peningkatan dan perkembangbiakan bahkan semakin beraneka ragam bentuk dan tipenya dalam setiap populasi manusia di seluruh dunia: Peradaban Qabil.

Secara historis, peradaban ini (baca: buruk) timbul dari kawin silang yang terjadi pada anak-anak Nabi Adam as. Semula Qabil merasa tidak terima dengan keputusan tersebut maka, Allah mengadilinya dengan cara seadil-adilnya. Keduanya dituntut untuk mempersembahkan sesuatu kepada Allah dari hasil usahanya masing-masing. Singkat cerita, persembahan Habil-lah yang Allah terima berupa domba yang bentuk fisiknya sempurna. Maka atas sebab inilah, keputusan Allah tetap berlanjut dan menimbulkan masalah bagi Qabil.

Dari sinilah perbuatan keji dan watak asli Qabil tampak kentara terhadap saudaranya sendiri, Habil. Tidak hanya sampai di situ, sikap hasudnya dilanjutkan dengan aksi nyata: rencana pembunuhan. Dan ini pembunuhan pertama kali yang terjadi di muka bumi ini. Pembunuhan terhadap saudaranya sendiri. Ngeri.

Plot cerita ini bukan hanya menjadi cerita dari tahun ke tahun. Cerita ini bahkan akan menjadi fenomena yang tak bisa terhindarkan setiap hari di belahan dunia. Dan lebih ironisnya lagi cerita yang sama akan dan telah terjadi dengan tampilan yang lebih sistematis. Cerita ngeri semacam ini akan terus bercokol dan barangkali bakal berakhir sampai pada titik kehidupan terakhir, akhirat; tempat di mana semua keturunan Nabi Adam as bahkan tak lagi memikirkan lakon-lakon buruk dan kejam yang berkelanjutan. Sebab, sebagaimana maklum, semua manusia dari keturunan Nabi Adam as akan menikmati dan atau menyesali apa yang telah ia perbuat selama hidup di dunia.

Belakangan ini seperti yang disampaikan di atas bahwa cerita yang sama –yang nantinya disebut peradaban Qabil– sedang dan atau sudah terjadi dengan plot cerita yang berbeda dan lebih sistematis pun dengan karakter yang beda. Betapa tidak, dari sisi mana pun semestinya hal tersebut tidak boleh terjadi sebab ada tali persaudaraan. Kalau tak seiman, ya sesama muslim, atau sebangsa atau setidaknya sama-sama anggota persaudaraan Bani Adam. Anehnya, kita malah gemar bertengkar, memusuhi saudara sendiri untuk urusan yang pada dasarnya tak terkait dengan masa depan, apalagi akhirat. Mungkin benih Qabil yang bersemi: gila dunia dan tak ragu membunuh untuk menguasai. Golongan macam ini sama halnya dengan golongan yang tidak mencintai dirinya sendiri. Ia hanya terlena dengan keindahan belaka tanpa memikirkan apa yang telah ia perbuat sama halnya ia melakukan pada dirinya sendiri. Padahal apa yang dilakukan (membunuh untuk menguasai) merupakan cerminan kualitas keimanan dirinya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari Muslim:”Tidaklah beriman seseorang dari kamu sehingga dia mencintai saudara seperti dia mencintai dirinya sendiri.”

Cerita saudara membunuh untuk menguasai sesuatu yang ia incar tapi tidak kesampaian bukan cerita yang perlu diprivatkan lagi.Tapi cerita semacam ini sudah menjadi kabar dan tontonan yang terus menyesaki ruang dengar dan pandang setiap hari. Bahkan sepertinya sudah menjadi momok di negeri ini.

Kehadiran teknologi canggih rupanya membawa efek buruk dan lahirnya pembunuhan dengan versi baru yang lebih sistematis. Pembunuhan yang terjadi di muka bumi saat ini adalah pembunuhan yang dilakukan dengan jarak dekat tapi jauh. Tapi bukan berarti pembunuhan yang dilakuakn dengan santet. Pembunuhan ini malah lebih hebat daripadanya, membunuh untuk menguasai dengan cara instan. Dikatakan dekat sebab ia bisa bertemu setiap hari. Dikatakan jauh karena dilakukan dengan bantuan teknologi super canggih dan sembunyi-sembunyi. Selain itu hal ini dilakukan secara bersama-sama dan terorganisir.

Anda tau sedari tadi tulisan ini mengarahkan pada apa dan tertuju untuk siapa?

Merencanakan, menjegal, menjatuhkan, lalu membunuh lawan adalah perbuatan bejat yang sering terjadi dengan plot cerita yang berbeda dan masing-masing memiliki tujuan yang sama: kekuasaan. Kelompok ini sepakat menjatuhkan satu lawan. Bila berhasil dijatuhkan, bagi-bagi kekuasaan pun terjadi. Kelompok yang dijatuhkan memendam dendam dan sepakat membalas balik dengan perbuatan yang tak jauh berbeda. Hal ini terus menerus terjadi hingga seperti siklus pembunuhan dan tak kunjung selesai. Lebih ironisnya lagi, dua kelompok yang sama-sama dibutakan mata hatinya malah saling mencari pendukung untuk keberhasilan dan berlanjutnya planning bejat melalui pengaruh sosial baik dunia maya atau nyata. Dan keburukan terus menerus menyebar layaknya penyakit yang menular.

Negeri kita saat ini sepertinya sedang marak-maraknya terjadi fenomena di atas. Lucunya, hal ini menjadi semacam kebanggan yang jemawa layaknya kompetisi dan terus dikejar penuh dengan rasa ambisi. Siapa yang berduit, berkuasa. Karakter ‘baik’ seolah mengalami masa expired. Keberadaannya tak lagi berguna malah membahayakan bagi sesama. Begitulah pemikiran dangkal bangsa ini.

Anda mengerti, dua paragraf di atas adalah jawaban bagi paragraf sebelumnya. Semoga bangsa kita yang terus menerus melantangkan ideologi Pancasila di negeri ini menyadari bahwa sebenarnya yang mereka lakukan adalah sesuatu yang berbanding balik dengan ideologi Pancasila. Dan tanpa disadari, peradaban Qabil-lah yang mereka lakukan untuk bangsa ini: saling membunuh untuk menguasai.

Muhammad Faisal Aly

#berkarya

 


Beberapa hari yang lalu saya diajak teman ke toko yang menjual peralatan musik. Sangat lengkap. Mulai dari alat musik modern sampai alat musik klasik seperti gamelan dan lain sebagainya. Saya diajak untuk membeli mikrofon buat masjid di kampung. Saat teman saya bernegosiasi dengan pemilik toko, saya berjalan melihat beberapa alat musik. Sesekali saya mencoba memainkannya, meski tidak sebagus musisi handal, tapi saya menikmatinya. Saya lihat salah satu karyawan yang menemani saya tak henti-henti bercekikikan.

Saya terus berjalan menyusuri ruang toko tersebut hingga sampai pada ruang khusus piano. Alat musik yang ketika didengar sangat indah seolah saya terbawa dalam alunan musikal. Saya dipersilahkan mencoba memainkannya. Awalnya saya ragu, karena memang saya sama sekali tidak mengerti tangga lagu. Tapi saya mencoba memberanikan diri untuk memainkanya. Saat sekolah SDN di kampung halaman, saya hanya hafal tangga lagu do – re – mi – fa – so – la – si - do tapi tidak tahu mana yang do dan mana yang re. Aneh bukan?

Saya tekan barisan hitam putih tuts piano secara acak. Hasilnya, nada piano berantakan. Tak senikmat mendengarkan piano yang dimainkan musisi Arjit Shing, musisi asal India. Saya akui, saya memang bukan musisi, meski memainkan musik secara dadakan amatiran tapi setidaknya saya sudah memainkannya. Memberi sedikit nada dalam hidup mereka yang mendengarkannya.

Terkadang dalam hidup tak jauh berbeda dengan piano. Hidup di dunia ini bagaikan tuts piano, ada hitam, ada putih. Tugas kita bukan menghilangkan hitamnya agar kelihatan polos jadi putih semua. Tugas kita juga bukan mempreteli tuts putihnya supaya jadi hitam semua. Tugas kita memainkan tuts-tuts yang beragam itu menjadi nada-nada yang nyaman untuk di dengar. Anda tahu, keindahan alunan musiknya tergantung bagaimana cara memainkannya. Namun, bila jelek cara memainkannya, maka nada yang dihasilkannya pun tidak nikmat berlantun di telinga.

Terlepas bagus buruknya sebuah permainan dalam memainkan piano, hakikatnya tugas kita hanyalah memainkannya untuk diperdengarkan kepada orang banyak. Dan ini yang disebut berkontribusi untuk umum. Berkarya untuk orang banyak esensinya berkarya untuk diri sendiri.

Anda tau tokoh dunia yang sampai detik ini masih tetap dikenang? Satu alasan beliau masih dikenang, karya. Ya. Karya-karya merekalah yang membuat mereka seolah masih hidup dan berada di tengah-tengah umat. Saya yakin, tokoh macam ini telah banyak memberi manfaat dan kontribusi tauladan baik bagi hidup dan kehidupan orang banyak. Baik saat beliau masih hidup atau saat beliau telah tiada.

Saya yakin ada ratusan bahkan miliaran manusia di muka bumi ini. Namun ada beberapa yang sampai saat ini dikenang oleh dunia. Sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan harus rela menjadi bagian dari manusia rata-rata, yang ketika hidup dikenal oleh sedikit orang. Dan ketika meninggal, namanya hanya tercatat di nisan kuburannya. Selesai. Hanya sebatas itu saja namanya diabadikan. Setelah beberapa hari usai pemakamannya, tidak ada lagi orang yang mengenangnya. Tidak ada lagi yang menikmati manfaat dari hidupnya. Tidak ada yang menyesali kepergiannya. Bahkan tidak ada lagi yang merasa bahwa ia pernah ada di muka bumi.

Bila Anda amati secara detail, ada titik perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya. Adalah bahwa orang-orang yang namanya hanya diabadikan di batu nisan memiliki prinsip untuk menyejahterakan diri sendiri. Sementara orang yang hidupnya tetap dikenang bahkan seolah ‘masih hidup’ di tengah-tengah umat karena mereka memiliki prinsip dan memilih hidup bukan untuk dirinya sendiri. Tapi berkarya untuk banyak orang.

Saya punya kisah inspiratif dari tokoh dunia yang banyak berkarya untuk banyak orang. Beliau adalah tokoh besar umat Islam, Imam Abu Hanifah. Suatu ketika beliau ditanya oleh masyarakat di daerahnya. “Apa yang membuat Anda menjadi seperti sekarang ini?” Beliau menjawab: “Saya tidak melakukan apa-apa kecuali dua hal: pertama, istifadah (mengambil faidah), kedua, Ifadah (berkarya; memberi faidah).”

Apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah patut kita teladani. Berkarya dan berkontribusi pada banyak orang pada dasarnya kebahagiaan yang sesungguhnya. Sayyid Qutb penah mengingatkan: “orang yang hidupnya bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.” Semoga kita bukan menjadi bagian orang pertama yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri dan lupa akan kebahagiaan orang lain yang sejatinya memiliki kebahagian yang jauh lebih abadi: berkarya.

Sekian sudah trilogi dari esai saya: #membaca - #menulis - #berkarya  ̶ yang sengaja ̶  saya persembahkan untuk Anda pembaca Bustan Media. Ada banyak jalan untuk berkarya meskipun tak seharusnya mengikuti dalam aturan main saya yang dibingkai dalam trilogi motivasi saya. Selama dalam “kebaikan” untuk diri sendiri dan orang lain, Anda punya kesempatan untuk berkarya dengan cara Anda sendiri. Berkaryalah sebaik-baiknya seakan kita akan hiduo untuk selamnya. Mari berkarya!

#menulis

 

Bila A.S. Laksana, Kolumnis Koran Jawa Pos, menginginkan di negeri ini banyak masyarakat gemar membaca, saya memiliki keinginan yang berbeda. Saya malah menginginkan di negeri ini banyak pula yang gemar menulis. Keinginan saya atau fans saya dalam dunia jurnalis, A.S. Laksana sama-sama benar dan tidak kontradiktif. Bahkan keduanya memiliki relasi yang sangat kuat. Relasinya: tidak membaca, berarti sulit menulis.

Mengajak bangsa gemar membaca di negeri ini seperti memerangi problem akut yang menjadi momok bangsa: korupsi, kolusi, atau nepotisme. Sangat disayangkan bila negeri dengan jumlah ± 200 juta  jiwa penduduk yang gemar membaca hanya 10%. Jumlah dengan angka yang sangat sedikit. Ironi negeri.

Entah ini fakta atau masalah bahwa budaya menonton lebih diminati ketimbang budaya membaca. Tak salah bila negeri ini kegemaran membaca penduduknya mendapatkan peringkat ke 112. Angka yang sangat tertinggal bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang besar. Dan sungguh banyak kita jumpai sekolah-sekolah di negeri ini belum bisa membuat murid-murid senang membaca. Dan inilah akar dari permasalahannya. Masalah dan ironi.

Masalahnya, hari ini kita tahu, bahwa layar tontonan bukan sekedar di televisi. Layar tontonan dapat dipegang dalam genggaman. Dan tak sedikit tayangan televisi beraneka ragam tanpa filter ketat oleh pihak yang bersangkutan. Cacian, makian, teror, adegan kurang etis dan hal-hal yang terasa menekan dalam kehidupan individu di tengah masyarakat selalu menjadi tontonan dan sengaja dipertontonkan.

Ironinya, jika budaya menonton dengan segala tayangannya yang mengkhawatirkan merusak bangsa lebih diminati oleh masyarakat dan tanpa mereka sadari, saya yakin kehidupan di negeri ini semakin melaju kencang ke arah petaka yang mengerikan. Karena sudah menjadi kodrat manusia adalah mendengar juga melihat. Bahkan seringkali yang dilihat jauh lebih mudah diingat dibandingkan yang terdengar. Bayangkan, bila setiap hari tayangan-tayangan semacam itu dipertontonkan ke khalayak, lalu ada berapa masyarakat yang setiap hari terobsesi lalu mengaplikasikan tayangan-tayang tersebut.

Itu sebabnya kenapa saya memiliki keinginan banyak agar bangsa ini gemar menulis. Saya ingin di setiap rumah, sekolah, atau pesantren disesaki dengan buku-buku atau kitab yang berjilid-jilid. Saya ingin bercerita. Sebut saja namanya Ilyas. Ilyas adalah salah satu di antara 10 awak kapal yang sedang melaut. Suatu ketika, ada suara minta tolong tak jauh dari kapal. Semua pada panik dan saling tunjuk untuk terjun ke bawah menolong orang yang minta pertolongan tersebut. Tiba-tiba tanpa Ilyas ketahui, Ilyas disorong hingga ia terjatuh ke laut. Pilihan ilyas saat itu satu: mau tidak mau dia harus menolong orang itu. Dalam hal ini saya mengopinikan, bila anak bangsa memiliki karya tulis dan cerita-cerita yang baik; setiap rumah memiliki buku-buku, saya yakin mau tidak mau semua orang akan tergerak hatinya untuk gemar membaca bila di sekelilingnya hanya terdapat buku-buku. Buntutnya, semakin banyak orang yang gemar membaca di negeri ini, maka semakin banyak pula orang-orang yang bakal melahirkan buku-buku.

Bukan hanya itu. Hari ini bahkan setiap hari kita seolah dicekoki cerita-cerita yang kurang baik. Alur kisahnya selalu membuat kita terbawa perasaan lalu ingin melakoni adegan yang sama dilakukan oleh aktornya. Cerita-cerita yang tidak baik, akan membangun bangsa ini dengan sekumpulan cerita ironi yang mengerikan. Namun, bila di negeri ini banyak penulis yang menulis cerita-cerita yang baik, saya yakin bahwa negeri kita saat ini sedang membutuhkannya. Kita memerlukan cerita yang bermutu, baik itu cerita kehidupan sehari-hari di mana kita yang menjadi pelakunya, maupun cerita yang kita baca dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis yang baik. Cerita sehari-hari yang baik memberi kita kegembiraan dan harapan. Cerita rekaan yang baik memberi kita pengalaman yang tidak kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Cerita rekaan yang baik, Anda tau, akan menyuguhkan kepada para pembacanya efek psikologis, sosial, dan emosional dari situasi yang tertentu yang penuh tekanan  -mungkin kegelapan- dan dari sana kita bisa banyak belajar. Kenikmatan semacam itu hanya bisa dialami oleh para pembaca buku. Oleh karenanya, saya mengajak Anda menulis cerita-cerita yang baik untuk berkonrtibusi kepada bangsa; memberikan kebahagian dan harapan dalam setiap cerita yang kita cipta. 

Mari kita menulis. Saya teringat dengan kalimat sederhana yang disampaikan oleh mantan wartawan Jawa Pos, Husnun N Djuraid dalam bukunya, Panduan Menulis Berita. Dalam bukunya beliau menyampaikan begini: “Menjadi penulis yang baik, harus menjadi pembaca yang baik.” Dalam hal ini memiliki indikasi bahwa bila Anda ingin menjadi penulis, maka hal pertama dan utama dilakukan adalah dengan banyak membaca. Ibarat dalam sebuah kehidupan, semakin banyak kita mengkonsumsi makanan, maka semakin banyak pula kotoran yang dibuang. Relasinya, semakin banyak kita membaca buku-buku, kitab-kitab karya ulama salaf, maka semakin banyak ide-ide yang bakal bermunculan. Karena dengan membaca, selain kita pengalaman dengan suguhan cerita-cerita yang baik, kita akan belajar banyak dari penulisnya. Kita bisa meniru dengan gaya tulisannya. Bukan hanya seorang penulis, seorang seniman, penyanyi, atau pemain sinetron pun awal mulanya meniru dan akhirnya dengan bantuan berfikir dan mengevaluasi lama-kelamaan dapat menemukan karakter atau ciri khas  masing-masing.

Karakter itu akan terbentuk dari berbagai pengalaman pancaindra yang kita olah melalui pemikiran-pemikiran untuk menghasilkan karya. Teruslah berkarya, karena karya-karya itulah nantinya yang akan menginspirasi. Karya itulah yang akan terevaluasi menjadi diri kita sendiri. Mari menulis, menulis, dan menulis!

Penulis : Muhammad Faisal Ali


#membaca

 


Orang-orang besar yang kita lihat sekarang ini, namanya masih terukir indah dalam sejarah, tidak lepas dari rutinitasnya: baca buku. Buku atau kitab bagi mereka sebagai pelipur. Para madzahib al-arba’ah, misal, Imam Syafi’i juga tak luput dari membaca buku (baca: Kitab). Plato, Aristoteles, Nur Cholis Majid, Hamka, Gus Dur, termasuk guru besar kita, KH. Husni Zuhri tak lepas saban hari membaca dan berkutat dengan buku dan kitab.

Ada kisah menarik. Saya punya sahabat, sejak dini ia sering disuguhkan buku-buku oleh kedua orang tuanya. Berbeda dengan orang tua masa kini, anaknya lebih sering diajak nonton televisi. Padahal tontonan telivisi saat ini sudah tidak bisa lagi menfilter tontonan yang tidak layak ditonton oleh khalayak, lebih-lebih anak-anak.

Sejak kecil, sahabat saya ini selalu dibelikan buku bacaan. Mulai buku-buku yang khusus dibaca anak-anak hingga majalah yang seharusnya dibaca oleh orang dewasa, bacaan berat. Setiap bulan ada buku baru.Tak heran jika sahabat saya ini tumbuh sebagai anak yang cerdas, aktif, dan daya kreatifitasnya tinggi. Anda tau penyebabnya? Ya, karena dia sejak dini suka baca buku.

Pada masa liburan kemarin, saya menyempatkan diri jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Ada buku baru yang saya incar sejak kali pertama rilis. Saya juga menemukan buku yang sebelumnya tidak terpikirkan untuk membelinya. Namun, karena cover buku dan judulnya menarik, saya ambil lalu membelinya alih-alih bisa memenuhi rak buku saya.

Menakjubkan. Buku yang tidak terdaftar dalam daftar belanja buku saya isinya sangat memotivasi. Anda tahu, penulis buku itu ternyata sangat terkenal. Ia masih muda dan punya bakat yang cemerlang. Namanya Ahmad Rifai Rif’an. Di usianya yang masih 30-an ia sudah bisa menulis buku hingga 20 buku lebih. Rata-rata bukunya laris manis di toko buku Gramedia. Best Seller.

Saya teringat kalimat menarik dalam buku ini. Meminjam istilah Ahmad Rifai Rif’an: “Luasnya pengetahuan, pemahaman, cara pandang, wawasan, sangat dipengaruhi oleh kecintaan terhadap berbagai macam bacaan.” Mungkin dengan kalimat ini kita bisa melihat bahwa orang yang berada di depan kita saat berbincang-bincang suka membaca buku atau tidak menyukainya. Masih menurut penulis buku yang saya kisahkan ini menungkapkan bahwa, orang yang suka membaca buku cara pandangnya terhadap suatu permasalahan jauh lebih luas ketimbang orang yang tidak suka membaca. Seringkali orang yang kurang suka membaca, sedikit kesulitan dalam memandang suatu permasalahan secara luas dan meninjaunya dari berbagai perspektif.

Saya pernah membaca ungkapan dari seorang penulis yang dikenal sebagai sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Sebagai penulis, ia telah banyak menulis lebih dari 50 buku dan diterjemahkan dalam bahasa asing. Lebih dari 41 bahasa asing. Begini ungkapan beliau: “Jika Anda ingin mengenal dunia, membacalah. Jika Anda ingin dikenal dunia, menulislah.”

Menurut saya, ungkapan di atas sangat memotivasi. Bagaimana tidak, kegiatan membaca memang kunci seseorang mengetahui banyak hal. Dan awal seseorang bisa sukses. Tahukah Anda, punya hobi membaca buku itu seru!

Dalam sebuah kitab karya ‘Aidh bin Abdullah al-Qarn disebutkan bahwa ada 11 manfaat membaca buku atau kitab:

1.    Membaca dapat menghilangkan kecemasan  dan kegundahan.

2.    Ketika sibuk membaca, seseorang terhalang masuk dalam ruang kebodohan.

3.  Kebiasaan membaca membuat orang terlalu sibuk untuk bisa berhubungan dengan orang-orang malas dan tidak mau bekerja.

4.  Dengan sering membaca, seseorang bisa mengembangkan keluwesan dan kefasihan dalam bertutur kata.

5.    Membaca membantu mengenmbangkan pemikiran dan menjernihkan acara berpikir.

6.    Membaca meningkatkan pengetahuan seseorang dan meningkatkan memori pemahaman.

7.  Dengan sering membaca, seorang dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang lain, seperti mencontoh kearifan orang bijaksana dan kecerdasan orang-orang berilmu.

8.  Dengan sering membaca, seseorang dapat mengembangkan kemampuannya baik untuk mendapat dan merespon ilmu pengetahuan maupun untuk mempelajari disiplin ilmu dan aplikasi di dalam hidup.

9.  Keyakinan, seseorang akan bertambah ketika dia membaca buku-buku yang bermanfaat, terutama buku-buku yang ditulis oleh penulis-penulis yang baik. Buku itu adalah penyampai ceramah terbaik dan ia mempunyai pengaruh kuat untuk menuntun seseorang menuju kebaikan dan menjauhkan kejahatan.

10.Membaca dapat membantu seseorang untuk menyegarkan pikiran dari keruwetan dan menyelamatkan waktu agar tidak sia-sia.

11.Dengan sering membaca, seseorang bisa menguasai banyak kata dan mempelajari berbagai model kalimat, lebih lanjut lagi ia bisa meningkatkan kemampuannya untuk menyerap konsep dan untuk memahami apa yang tertulis “diantara baris demi baris” (memahami apa yang tersirat).

Demikianlah manfaat-manfat membaca buku. Masihkan Anda belum tertarik dan ingin membaca?

Yuk banyak membaca! (*)

Kamis, 08 Oktober 2020

KISI-KISI SOAL


Pengertian Kisi-kisi Soal, Komponen, dan Langkah Penyusunannya

Amongguru.com. Penyusunan kisi-kisi soal menjadi langkah penting yang harus dilakukan guru sebelum melakukan penulisan soal.

Pengertian kisi-kisi soal merupakan sebuah format berupa matriks yang memuat pedoman untuk menulis soal atau merakit soal menjadi suatu alat penilaian.

Kisi-kisi menjadi pedoman pembuatan soal yang memuat secara lengkap kriteria dari soal yang akan diusun dalam sebuah tes. Kisi-kisi soal disusun berdasarkan silabus mata pelajaran.

Syarat Kisi-kisi yang Baik

Kisi-kisi yang baik harus memenuhi beberapa pesyaratan berikut.

1. Mewakili isi kurikulum/kemampuan yang akan diujikan.

2. Soal-soalnya dapat dibuat sesuai dengan indikator dan bentuk soal yang ditetapkan.

3. Komponen-komponennya rinci, jelas, dan mudah dipahami.

Kriteria Kisi-kisi

Kriteria kisi-kisi yang baik adalah sebagai berikut.

1. Mengacu pada materi pelajaran sesuai kurikulum yang ditetapkan .

2. Memiliki sejumlah komponen dengan informasi yang jelas dan mudah dipahami.

3. Menggunakan satu atau lebih kata kerja operasional dalam satu rumusan indikator.

Komponen Kisi-kisi

Komponen-komponen yang diperlukan dalam sebuah kisi-kisi disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan tes.

Komponen kisi-kisi terdiri atas komponen identitas dan komponen matriks. Komponen identitas diletakkan di atas komponen matriks.

Komponen identitas :

1. Jenis/jenjang sekolah

2. Program studi/jurusan

3. Mata pelajaran

4. Tahun ajaran

5. Kurikulum yang berlaku

6. Alokasi waktu

7. Jumlah soal

8. Bentuk soal.

Komponen matriks :

1. Kompetensi dasar

2. Materi

3. Indikator

4. Level kognitif

5. Nomor soal.

Langkah-langkah Penyusunan Kisi-kisi

Langkah-langkah penyusunan kisi-kisi soal adalah sebagai berikut.

1. Menentukan Kompetensi Dasar yang akan diukur

Kompetensi Dasar (KD) adalah kemampuan minimal yang harus dikuasai peserta didik setelah mempelajari materi pelajaran tertentu. Kompetensi ini diambil dari kurikulum yang berlaku.

2. Memilih materi yang esensial

Bahan ajar yang harus dikuasai peserta didik berdasarkan kompetensi yang akan diukur. Penentuan materi (bahan ajar) yang akan diambil disesuaikan dengan indikator yang akan disusun.

3. Merumuskan indikator yang mengacu pada KD

Indikator berisi ciri-ciri perilaku yang dapat diukur sebagai petunjuk untuk membuat soal. Perumusan indikator dengan memperhatikan materi dan level kognitif.

Kriteria pemilihan materi yang esensial adalah sebagai berikut.

1. Pendalaman dari satu materi yang sudah dipelajari sebelumnya

2. Merupakan materi penting untuk dikuasai peserta didik

3. Materi sering diperlukan untuk mempelajari mata pelajaran lain

4. Materi berkesinambungan pada semua jenjang kelas

5. Materi memiliki nilai terapan tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Ranah Pengetahuan Pada Kemampuan Berpikir (Level Kognitif)

1. Mengingat (C1)

Mengemukakan kembali apa yang sudah dipelajari dari guru, buku, sumber lainnya, tanpa

melakukan perubahan.

2. Memahami (C2)

Sudah ada proses pengolahan dari bentuk aslinya tetapi arti kata, istilah, tulisan, grafik, tabel,

gambar, foto, tidak berubah.

3. Menerapkan (C3)

Menggunakan informasi, konsep, prosedur, prinsip, hukum, teori yang sudah dipelajari untuk

sesuatu yang baru atau belum dipelajari.

4. Menganalisis (C4)

Menggunakan keterampilan yang telah dipelajarinya terhadap suatu informasi yang belum diketahuinya dalam mengelompokkan informasi, menentukan keterhubungan antara satu kelompok atau informasi lainnya, antara fakta dengan konsep, antara argumentasi dengan kesimpulan, benang merah pemikiran antara satu karya dengan karya lainnya.

5. Mengevaluasi (C5)

Menentukan nilai suatu benda atau informasi berdasarkan suatu kriteria.

6. Mencipta (C6)

Membuat sesuatu yang baru dari apa yang sudah ada sehingga hasil tersebut merupakan satu kesatuan utuh dan berbeda dari komponen yang digunakan untuk membentuknya.

Berikut Kisi-kisi soal yang kami sajikan:

  • Kisi-Kisi Soal SKI Kelas VII MTs - unduh
  • Kisi-Kisi Soal SKI Kelas VIII MTs - unduh

Demikian ulasan mengenai pengertian kisi-kisi soal, komponen, dan langkah pembuatannya. Semoga bermanfaat.

Selasa, 06 Oktober 2020

PROGRAM TINDAK LANJUT GURU

 


Program Tindak Lanjut Kerja Guru

Kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang perlu dilakukan meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Agar hasil pengembangan kegiatan keprofesian berkelanjutan dapat diangka kreditkan, maka pengembangan kegiatan harus sesuai dengan aturan, format, dan kaidah yang ditetapkan dalam Permenpan

Peningkatan tenaga pendidik telah banyak dilakukan oleh pemerintah, diantaranya tugas belajar, block grant KKG/MGMP, lomba guru prestasi, dan lain-lain. Hasil kajian di lapangan menunjukkan bahwa kompetensi guru dalam pengembangan karya profesi masih rendah, hal ini ditunjukkan masih banyaknya guru yang menduduki pangkat dan golongannya lebih dari 4 tahun. Bahkan ketika Permenpan No 84 tahun 1993, terjadi bottle neck untuk pangkat dan golongan guru IV a, sehingga jika permenpan tersebut dilaksanakan banyak guru yang harus dibebaskan dari jabatan fungsionalnya, dan tidak lagi sebagai guru.

Rencana Tindak Lanjut Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Individu Guru  terdiri dari:
  • Dimensi Tugas Utama / Indikator
  • Rencana Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan yang akan dilakukan
  • Strategi Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan