Rabu, 29 September 2021

#berkarya

 


Beberapa hari yang lalu saya diajak teman ke toko yang menjual peralatan musik. Sangat lengkap. Mulai dari alat musik modern sampai alat musik klasik seperti gamelan dan lain sebagainya. Saya diajak untuk membeli mikrofon buat masjid di kampung. Saat teman saya bernegosiasi dengan pemilik toko, saya berjalan melihat beberapa alat musik. Sesekali saya mencoba memainkannya, meski tidak sebagus musisi handal, tapi saya menikmatinya. Saya lihat salah satu karyawan yang menemani saya tak henti-henti bercekikikan.

Saya terus berjalan menyusuri ruang toko tersebut hingga sampai pada ruang khusus piano. Alat musik yang ketika didengar sangat indah seolah saya terbawa dalam alunan musikal. Saya dipersilahkan mencoba memainkannya. Awalnya saya ragu, karena memang saya sama sekali tidak mengerti tangga lagu. Tapi saya mencoba memberanikan diri untuk memainkanya. Saat sekolah SDN di kampung halaman, saya hanya hafal tangga lagu do – re – mi – fa – so – la – si - do tapi tidak tahu mana yang do dan mana yang re. Aneh bukan?

Saya tekan barisan hitam putih tuts piano secara acak. Hasilnya, nada piano berantakan. Tak senikmat mendengarkan piano yang dimainkan musisi Arjit Shing, musisi asal India. Saya akui, saya memang bukan musisi, meski memainkan musik secara dadakan amatiran tapi setidaknya saya sudah memainkannya. Memberi sedikit nada dalam hidup mereka yang mendengarkannya.

Terkadang dalam hidup tak jauh berbeda dengan piano. Hidup di dunia ini bagaikan tuts piano, ada hitam, ada putih. Tugas kita bukan menghilangkan hitamnya agar kelihatan polos jadi putih semua. Tugas kita juga bukan mempreteli tuts putihnya supaya jadi hitam semua. Tugas kita memainkan tuts-tuts yang beragam itu menjadi nada-nada yang nyaman untuk di dengar. Anda tahu, keindahan alunan musiknya tergantung bagaimana cara memainkannya. Namun, bila jelek cara memainkannya, maka nada yang dihasilkannya pun tidak nikmat berlantun di telinga.

Terlepas bagus buruknya sebuah permainan dalam memainkan piano, hakikatnya tugas kita hanyalah memainkannya untuk diperdengarkan kepada orang banyak. Dan ini yang disebut berkontribusi untuk umum. Berkarya untuk orang banyak esensinya berkarya untuk diri sendiri.

Anda tau tokoh dunia yang sampai detik ini masih tetap dikenang? Satu alasan beliau masih dikenang, karya. Ya. Karya-karya merekalah yang membuat mereka seolah masih hidup dan berada di tengah-tengah umat. Saya yakin, tokoh macam ini telah banyak memberi manfaat dan kontribusi tauladan baik bagi hidup dan kehidupan orang banyak. Baik saat beliau masih hidup atau saat beliau telah tiada.

Saya yakin ada ratusan bahkan miliaran manusia di muka bumi ini. Namun ada beberapa yang sampai saat ini dikenang oleh dunia. Sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan harus rela menjadi bagian dari manusia rata-rata, yang ketika hidup dikenal oleh sedikit orang. Dan ketika meninggal, namanya hanya tercatat di nisan kuburannya. Selesai. Hanya sebatas itu saja namanya diabadikan. Setelah beberapa hari usai pemakamannya, tidak ada lagi orang yang mengenangnya. Tidak ada lagi yang menikmati manfaat dari hidupnya. Tidak ada yang menyesali kepergiannya. Bahkan tidak ada lagi yang merasa bahwa ia pernah ada di muka bumi.

Bila Anda amati secara detail, ada titik perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya. Adalah bahwa orang-orang yang namanya hanya diabadikan di batu nisan memiliki prinsip untuk menyejahterakan diri sendiri. Sementara orang yang hidupnya tetap dikenang bahkan seolah ‘masih hidup’ di tengah-tengah umat karena mereka memiliki prinsip dan memilih hidup bukan untuk dirinya sendiri. Tapi berkarya untuk banyak orang.

Saya punya kisah inspiratif dari tokoh dunia yang banyak berkarya untuk banyak orang. Beliau adalah tokoh besar umat Islam, Imam Abu Hanifah. Suatu ketika beliau ditanya oleh masyarakat di daerahnya. “Apa yang membuat Anda menjadi seperti sekarang ini?” Beliau menjawab: “Saya tidak melakukan apa-apa kecuali dua hal: pertama, istifadah (mengambil faidah), kedua, Ifadah (berkarya; memberi faidah).”

Apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah patut kita teladani. Berkarya dan berkontribusi pada banyak orang pada dasarnya kebahagiaan yang sesungguhnya. Sayyid Qutb penah mengingatkan: “orang yang hidupnya bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.” Semoga kita bukan menjadi bagian orang pertama yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri dan lupa akan kebahagiaan orang lain yang sejatinya memiliki kebahagian yang jauh lebih abadi: berkarya.

Sekian sudah trilogi dari esai saya: #membaca - #menulis - #berkarya  ̶ yang sengaja ̶  saya persembahkan untuk Anda pembaca Bustan Media. Ada banyak jalan untuk berkarya meskipun tak seharusnya mengikuti dalam aturan main saya yang dibingkai dalam trilogi motivasi saya. Selama dalam “kebaikan” untuk diri sendiri dan orang lain, Anda punya kesempatan untuk berkarya dengan cara Anda sendiri. Berkaryalah sebaik-baiknya seakan kita akan hiduo untuk selamnya. Mari berkarya!

0 Comments:

Posting Komentar