Beberapa hari yang lalu saya
diajak teman ke toko yang menjual peralatan musik. Sangat lengkap. Mulai dari
alat musik modern sampai alat musik klasik seperti gamelan dan lain sebagainya.
Saya diajak untuk membeli mikrofon buat masjid di kampung. Saat teman saya
bernegosiasi dengan pemilik toko, saya berjalan melihat beberapa alat musik.
Sesekali saya mencoba memainkannya, meski tidak sebagus musisi handal, tapi
saya menikmatinya. Saya lihat salah satu karyawan yang menemani saya tak
henti-henti bercekikikan.
Saya terus berjalan menyusuri
ruang toko tersebut hingga sampai pada ruang khusus piano. Alat musik yang
ketika didengar sangat indah seolah saya terbawa dalam alunan musikal. Saya
dipersilahkan mencoba memainkannya. Awalnya saya ragu, karena memang saya sama
sekali tidak mengerti tangga lagu. Tapi saya mencoba memberanikan diri untuk
memainkanya. Saat sekolah SDN di kampung halaman, saya hanya hafal tangga lagu
do – re – mi – fa – so – la – si - do tapi tidak tahu mana yang do dan
mana yang re. Aneh bukan?
Saya tekan barisan hitam putih
tuts piano secara acak. Hasilnya, nada piano berantakan. Tak senikmat
mendengarkan piano yang dimainkan musisi Arjit Shing, musisi asal India. Saya
akui, saya memang bukan musisi, meski memainkan musik secara dadakan amatiran tapi
setidaknya saya sudah memainkannya. Memberi sedikit nada dalam hidup mereka
yang mendengarkannya.
Terkadang dalam hidup tak jauh
berbeda dengan piano. Hidup di dunia ini bagaikan tuts piano, ada hitam, ada
putih. Tugas kita bukan menghilangkan hitamnya agar kelihatan polos jadi putih
semua. Tugas kita juga bukan mempreteli tuts putihnya supaya jadi hitam semua.
Tugas kita memainkan tuts-tuts yang beragam itu menjadi nada-nada yang nyaman
untuk di dengar. Anda tahu, keindahan alunan musiknya tergantung bagaimana cara
memainkannya. Namun, bila jelek cara memainkannya, maka nada yang dihasilkannya
pun tidak nikmat berlantun di telinga.
Terlepas bagus buruknya sebuah permainan
dalam memainkan piano, hakikatnya tugas kita hanyalah memainkannya untuk
diperdengarkan kepada orang banyak. Dan ini yang disebut berkontribusi untuk
umum. Berkarya untuk orang banyak esensinya berkarya untuk diri sendiri.
Anda tau tokoh dunia yang sampai
detik ini masih tetap dikenang? Satu alasan beliau masih dikenang, karya. Ya.
Karya-karya merekalah yang membuat mereka seolah masih hidup dan berada di
tengah-tengah umat. Saya yakin, tokoh macam ini telah banyak memberi manfaat
dan kontribusi tauladan baik bagi hidup dan kehidupan orang banyak. Baik saat
beliau masih hidup atau saat beliau telah tiada.
Saya yakin ada ratusan bahkan
miliaran manusia di muka bumi ini. Namun ada beberapa yang sampai saat ini
dikenang oleh dunia. Sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan harus rela menjadi
bagian dari manusia rata-rata, yang ketika hidup dikenal oleh sedikit orang.
Dan ketika meninggal, namanya hanya tercatat di nisan kuburannya. Selesai.
Hanya sebatas itu saja namanya diabadikan. Setelah beberapa hari usai
pemakamannya, tidak ada lagi orang yang mengenangnya. Tidak ada lagi yang
menikmati manfaat dari hidupnya. Tidak ada yang menyesali kepergiannya. Bahkan
tidak ada lagi yang merasa bahwa ia pernah ada di muka bumi.
Bila Anda amati secara detail, ada
titik perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya. Adalah bahwa
orang-orang yang namanya hanya diabadikan di batu nisan memiliki prinsip untuk
menyejahterakan diri sendiri. Sementara orang yang hidupnya tetap dikenang
bahkan seolah ‘masih hidup’ di tengah-tengah umat karena mereka memiliki
prinsip dan memilih hidup bukan untuk dirinya sendiri. Tapi berkarya untuk
banyak orang.
Saya punya kisah inspiratif dari
tokoh dunia yang banyak berkarya untuk banyak orang. Beliau adalah tokoh besar
umat Islam, Imam Abu Hanifah. Suatu ketika beliau ditanya oleh masyarakat di
daerahnya. “Apa yang membuat Anda menjadi seperti sekarang ini?” Beliau
menjawab: “Saya tidak melakukan apa-apa kecuali dua hal: pertama, istifadah (mengambil
faidah), kedua, Ifadah (berkarya; memberi faidah).”
Apa yang dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah patut kita teladani. Berkarya dan berkontribusi pada banyak orang pada
dasarnya kebahagiaan yang sesungguhnya. Sayyid Qutb penah mengingatkan: “orang
yang hidupnya bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati
sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup
sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.” Semoga kita bukan menjadi
bagian orang pertama yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri dan lupa akan
kebahagiaan orang lain yang sejatinya memiliki kebahagian yang jauh lebih
abadi: berkarya.
Sekian sudah trilogi dari esai
saya: #membaca - #menulis - #berkarya ̶
yang sengaja ̶ saya persembahkan untuk
Anda pembaca Bustan Media. Ada banyak jalan untuk berkarya meskipun tak
seharusnya mengikuti dalam aturan main saya yang dibingkai dalam trilogi
motivasi saya. Selama dalam “kebaikan” untuk diri sendiri dan orang lain, Anda
punya kesempatan untuk berkarya dengan cara Anda sendiri. Berkaryalah
sebaik-baiknya seakan kita akan hiduo untuk selamnya. Mari berkarya!
0 Comments:
Posting Komentar