Bila A.S. Laksana, Kolumnis Koran Jawa Pos, menginginkan di negeri ini banyak masyarakat gemar membaca, saya memiliki keinginan yang berbeda. Saya malah menginginkan di negeri ini banyak pula yang gemar menulis. Keinginan saya atau fans saya dalam dunia jurnalis, A.S. Laksana sama-sama benar dan tidak kontradiktif. Bahkan keduanya memiliki relasi yang sangat kuat. Relasinya: tidak membaca, berarti sulit menulis.
Mengajak bangsa gemar membaca di
negeri ini seperti memerangi problem akut yang menjadi momok bangsa: korupsi,
kolusi, atau nepotisme. Sangat disayangkan bila negeri dengan jumlah ± 200
juta jiwa penduduk yang gemar membaca
hanya 10%. Jumlah dengan angka yang sangat sedikit. Ironi negeri.
Entah ini fakta atau masalah bahwa
budaya menonton lebih diminati ketimbang budaya membaca. Tak salah bila negeri
ini kegemaran membaca penduduknya mendapatkan peringkat ke 112. Angka yang
sangat tertinggal bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang besar. Dan
sungguh banyak kita jumpai sekolah-sekolah di negeri ini belum bisa membuat
murid-murid senang membaca. Dan inilah akar dari permasalahannya. Masalah dan
ironi.
Masalahnya, hari ini kita tahu,
bahwa layar tontonan bukan sekedar di televisi. Layar tontonan dapat dipegang
dalam genggaman. Dan tak sedikit tayangan televisi beraneka ragam tanpa filter ketat
oleh pihak yang bersangkutan. Cacian, makian, teror, adegan kurang etis dan
hal-hal yang terasa menekan dalam kehidupan individu di tengah masyarakat
selalu menjadi tontonan dan sengaja dipertontonkan.
Ironinya, jika budaya menonton
dengan segala tayangannya yang mengkhawatirkan merusak bangsa lebih diminati
oleh masyarakat dan tanpa mereka sadari, saya yakin kehidupan di negeri ini
semakin melaju kencang ke arah petaka yang mengerikan. Karena sudah menjadi
kodrat manusia adalah mendengar juga melihat. Bahkan seringkali yang dilihat
jauh lebih mudah diingat dibandingkan yang terdengar. Bayangkan, bila setiap
hari tayangan-tayangan semacam itu dipertontonkan ke khalayak, lalu ada berapa masyarakat
yang setiap hari terobsesi lalu mengaplikasikan tayangan-tayang tersebut.
Itu sebabnya kenapa saya memiliki
keinginan banyak agar bangsa ini gemar menulis. Saya ingin di setiap rumah,
sekolah, atau pesantren disesaki dengan buku-buku atau kitab yang berjilid-jilid.
Saya ingin bercerita. Sebut saja namanya Ilyas. Ilyas adalah salah satu di
antara 10 awak kapal yang sedang melaut. Suatu ketika, ada suara minta tolong
tak jauh dari kapal. Semua pada panik dan saling tunjuk untuk terjun ke bawah
menolong orang yang minta pertolongan tersebut. Tiba-tiba tanpa Ilyas ketahui,
Ilyas disorong hingga ia terjatuh ke laut. Pilihan ilyas saat itu satu: mau
tidak mau dia harus menolong orang itu. Dalam hal ini saya mengopinikan, bila
anak bangsa memiliki karya tulis dan cerita-cerita yang baik; setiap rumah
memiliki buku-buku, saya yakin mau tidak mau semua orang akan tergerak hatinya
untuk gemar membaca bila di sekelilingnya hanya terdapat buku-buku. Buntutnya,
semakin banyak orang yang gemar membaca di negeri ini, maka semakin banyak pula
orang-orang yang bakal melahirkan buku-buku.
Bukan hanya itu. Hari ini bahkan
setiap hari kita seolah dicekoki cerita-cerita yang kurang baik. Alur kisahnya
selalu membuat kita terbawa perasaan lalu ingin melakoni adegan yang sama
dilakukan oleh aktornya. Cerita-cerita yang tidak baik, akan membangun bangsa
ini dengan sekumpulan cerita ironi yang mengerikan. Namun, bila di negeri ini
banyak penulis yang menulis cerita-cerita yang baik, saya yakin bahwa negeri
kita saat ini sedang membutuhkannya. Kita memerlukan cerita yang bermutu, baik
itu cerita kehidupan sehari-hari di mana kita yang menjadi pelakunya, maupun
cerita yang kita baca dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis yang baik.
Cerita sehari-hari yang baik memberi kita kegembiraan dan harapan. Cerita
rekaan yang baik memberi kita pengalaman yang tidak kita dapatkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Cerita rekaan yang baik, Anda tau,
akan menyuguhkan kepada para pembacanya efek psikologis, sosial, dan emosional
dari situasi yang tertentu yang penuh tekanan
-mungkin kegelapan- dan dari sana kita bisa banyak belajar. Kenikmatan
semacam itu hanya bisa dialami oleh para pembaca buku. Oleh karenanya, saya
mengajak Anda menulis cerita-cerita yang baik untuk berkonrtibusi kepada bangsa;
memberikan kebahagian dan harapan dalam setiap cerita yang kita cipta.
Mari kita menulis. Saya teringat
dengan kalimat sederhana yang disampaikan oleh mantan wartawan Jawa Pos, Husnun
N Djuraid dalam bukunya, Panduan Menulis Berita. Dalam bukunya beliau
menyampaikan begini: “Menjadi penulis yang baik, harus menjadi pembaca yang
baik.” Dalam hal ini memiliki indikasi bahwa bila Anda ingin menjadi penulis,
maka hal pertama dan utama dilakukan adalah dengan banyak membaca. Ibarat dalam
sebuah kehidupan, semakin banyak kita mengkonsumsi makanan, maka semakin banyak
pula kotoran yang dibuang. Relasinya, semakin banyak kita membaca buku-buku,
kitab-kitab karya ulama salaf, maka semakin banyak ide-ide yang bakal
bermunculan. Karena dengan membaca, selain kita pengalaman dengan suguhan
cerita-cerita yang baik, kita akan belajar banyak dari penulisnya. Kita bisa
meniru dengan gaya tulisannya. Bukan hanya seorang penulis, seorang seniman,
penyanyi, atau pemain sinetron pun awal mulanya meniru dan akhirnya dengan
bantuan berfikir dan mengevaluasi lama-kelamaan dapat menemukan karakter atau
ciri khas masing-masing.
Karakter itu akan terbentuk dari
berbagai pengalaman pancaindra yang kita olah melalui pemikiran-pemikiran untuk
menghasilkan karya. Teruslah berkarya, karena karya-karya itulah nantinya yang
akan menginspirasi. Karya itulah yang akan terevaluasi menjadi diri kita
sendiri. Mari menulis, menulis, dan menulis!
0 Comments:
Posting Komentar