Rabu, 29 September 2021

#menulis

 

Bila A.S. Laksana, Kolumnis Koran Jawa Pos, menginginkan di negeri ini banyak masyarakat gemar membaca, saya memiliki keinginan yang berbeda. Saya malah menginginkan di negeri ini banyak pula yang gemar menulis. Keinginan saya atau fans saya dalam dunia jurnalis, A.S. Laksana sama-sama benar dan tidak kontradiktif. Bahkan keduanya memiliki relasi yang sangat kuat. Relasinya: tidak membaca, berarti sulit menulis.

Mengajak bangsa gemar membaca di negeri ini seperti memerangi problem akut yang menjadi momok bangsa: korupsi, kolusi, atau nepotisme. Sangat disayangkan bila negeri dengan jumlah ± 200 juta  jiwa penduduk yang gemar membaca hanya 10%. Jumlah dengan angka yang sangat sedikit. Ironi negeri.

Entah ini fakta atau masalah bahwa budaya menonton lebih diminati ketimbang budaya membaca. Tak salah bila negeri ini kegemaran membaca penduduknya mendapatkan peringkat ke 112. Angka yang sangat tertinggal bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang besar. Dan sungguh banyak kita jumpai sekolah-sekolah di negeri ini belum bisa membuat murid-murid senang membaca. Dan inilah akar dari permasalahannya. Masalah dan ironi.

Masalahnya, hari ini kita tahu, bahwa layar tontonan bukan sekedar di televisi. Layar tontonan dapat dipegang dalam genggaman. Dan tak sedikit tayangan televisi beraneka ragam tanpa filter ketat oleh pihak yang bersangkutan. Cacian, makian, teror, adegan kurang etis dan hal-hal yang terasa menekan dalam kehidupan individu di tengah masyarakat selalu menjadi tontonan dan sengaja dipertontonkan.

Ironinya, jika budaya menonton dengan segala tayangannya yang mengkhawatirkan merusak bangsa lebih diminati oleh masyarakat dan tanpa mereka sadari, saya yakin kehidupan di negeri ini semakin melaju kencang ke arah petaka yang mengerikan. Karena sudah menjadi kodrat manusia adalah mendengar juga melihat. Bahkan seringkali yang dilihat jauh lebih mudah diingat dibandingkan yang terdengar. Bayangkan, bila setiap hari tayangan-tayangan semacam itu dipertontonkan ke khalayak, lalu ada berapa masyarakat yang setiap hari terobsesi lalu mengaplikasikan tayangan-tayang tersebut.

Itu sebabnya kenapa saya memiliki keinginan banyak agar bangsa ini gemar menulis. Saya ingin di setiap rumah, sekolah, atau pesantren disesaki dengan buku-buku atau kitab yang berjilid-jilid. Saya ingin bercerita. Sebut saja namanya Ilyas. Ilyas adalah salah satu di antara 10 awak kapal yang sedang melaut. Suatu ketika, ada suara minta tolong tak jauh dari kapal. Semua pada panik dan saling tunjuk untuk terjun ke bawah menolong orang yang minta pertolongan tersebut. Tiba-tiba tanpa Ilyas ketahui, Ilyas disorong hingga ia terjatuh ke laut. Pilihan ilyas saat itu satu: mau tidak mau dia harus menolong orang itu. Dalam hal ini saya mengopinikan, bila anak bangsa memiliki karya tulis dan cerita-cerita yang baik; setiap rumah memiliki buku-buku, saya yakin mau tidak mau semua orang akan tergerak hatinya untuk gemar membaca bila di sekelilingnya hanya terdapat buku-buku. Buntutnya, semakin banyak orang yang gemar membaca di negeri ini, maka semakin banyak pula orang-orang yang bakal melahirkan buku-buku.

Bukan hanya itu. Hari ini bahkan setiap hari kita seolah dicekoki cerita-cerita yang kurang baik. Alur kisahnya selalu membuat kita terbawa perasaan lalu ingin melakoni adegan yang sama dilakukan oleh aktornya. Cerita-cerita yang tidak baik, akan membangun bangsa ini dengan sekumpulan cerita ironi yang mengerikan. Namun, bila di negeri ini banyak penulis yang menulis cerita-cerita yang baik, saya yakin bahwa negeri kita saat ini sedang membutuhkannya. Kita memerlukan cerita yang bermutu, baik itu cerita kehidupan sehari-hari di mana kita yang menjadi pelakunya, maupun cerita yang kita baca dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis yang baik. Cerita sehari-hari yang baik memberi kita kegembiraan dan harapan. Cerita rekaan yang baik memberi kita pengalaman yang tidak kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Cerita rekaan yang baik, Anda tau, akan menyuguhkan kepada para pembacanya efek psikologis, sosial, dan emosional dari situasi yang tertentu yang penuh tekanan  -mungkin kegelapan- dan dari sana kita bisa banyak belajar. Kenikmatan semacam itu hanya bisa dialami oleh para pembaca buku. Oleh karenanya, saya mengajak Anda menulis cerita-cerita yang baik untuk berkonrtibusi kepada bangsa; memberikan kebahagian dan harapan dalam setiap cerita yang kita cipta. 

Mari kita menulis. Saya teringat dengan kalimat sederhana yang disampaikan oleh mantan wartawan Jawa Pos, Husnun N Djuraid dalam bukunya, Panduan Menulis Berita. Dalam bukunya beliau menyampaikan begini: “Menjadi penulis yang baik, harus menjadi pembaca yang baik.” Dalam hal ini memiliki indikasi bahwa bila Anda ingin menjadi penulis, maka hal pertama dan utama dilakukan adalah dengan banyak membaca. Ibarat dalam sebuah kehidupan, semakin banyak kita mengkonsumsi makanan, maka semakin banyak pula kotoran yang dibuang. Relasinya, semakin banyak kita membaca buku-buku, kitab-kitab karya ulama salaf, maka semakin banyak ide-ide yang bakal bermunculan. Karena dengan membaca, selain kita pengalaman dengan suguhan cerita-cerita yang baik, kita akan belajar banyak dari penulisnya. Kita bisa meniru dengan gaya tulisannya. Bukan hanya seorang penulis, seorang seniman, penyanyi, atau pemain sinetron pun awal mulanya meniru dan akhirnya dengan bantuan berfikir dan mengevaluasi lama-kelamaan dapat menemukan karakter atau ciri khas  masing-masing.

Karakter itu akan terbentuk dari berbagai pengalaman pancaindra yang kita olah melalui pemikiran-pemikiran untuk menghasilkan karya. Teruslah berkarya, karena karya-karya itulah nantinya yang akan menginspirasi. Karya itulah yang akan terevaluasi menjadi diri kita sendiri. Mari menulis, menulis, dan menulis!

Penulis : Muhammad Faisal Ali


0 Comments:

Posting Komentar